Kritik Sineas Aceh terhadap Rencana Pembangunan Bioskop oleh Fadli Zon
Rencana Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, untuk membangun bioskop di Aceh menuai kritik dari para sineas lokal. Aceh, sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menjalankan hukum syariah secara ketat, hingga kini memang belum memiliki fasilitas bioskop. Namun, gagasan tersebut justru dianggap kurang relevan oleh sebagian pelaku seni dan budaya setempat.
Perspektif Sineas Aceh
Davi Abdullah, sutradara dokumenter pendek pemenang Piala Citra 2021 dengan karya bertajuk Three Faces in the Land of Sharia, menyampaikan pandangannya terkait rencana tersebut. Menurutnya, langkah yang diusulkan Fadli Zon tidak menunjukkan pemahaman yang mendalam terhadap kultur masyarakat Aceh maupun tren perfilman dunia yang terus berkembang.
“Aceh memiliki budaya yang sangat berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum membangun bioskop, terutama karena masyarakat di sini memiliki pandangan yang sangat spesifik terhadap hiburan,” ujar Davi. Ia menambahkan bahwa era digital saat ini telah membawa perubahan besar dalam konsumsi film. Platform streaming, menurutnya, sudah menjadi alternatif yang lebih sesuai bagi masyarakat Aceh.
Kritik Sineas Aceh terhadap Rencana Pembangunan Bioskop oleh Fadli Zon
Tantangan Budaya dan Sosial
Aceh dikenal dengan penerapan nilai-nilai syariah yang ketat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hiburan. Ketiadaan bioskop di provinsi ini bukan sekadar persoalan infrastruktur, melainkan lebih kepada penyesuaian terhadap norma dan aturan yang berlaku. Sejumlah tokoh masyarakat dan ulama setempat bahkan telah menyuarakan kekhawatiran bahwa kehadiran bioskop dapat memicu konflik dengan nilai-nilai lokal.
“Kehadiran bioskop bisa saja menimbulkan pro dan kontra. Penting untuk memahami sensitivitas budaya sebelum memutuskan sesuatu yang besar seperti ini,” kata salah satu tokoh adat di Banda Aceh yang enggan disebutkan namanya. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan bioskop di Aceh bukan sekadar soal menyediakan hiburan, tetapi juga menyangkut penerimaan masyarakat secara luas.
Alternatif yang Lebih Relevan
Dalam situasi seperti ini, platform digital menjadi opsi yang lebih masuk akal. Davi Abdullah menyoroti bahwa akses internet yang semakin meluas di Aceh memberikan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan industri kreatif tanpa harus bertentangan dengan norma setempat. “Streaming film memungkinkan masyarakat menikmati karya seni tanpa harus keluar rumah atau melanggar aturan syariah,” jelasnya.
Di sisi lain, Davi juga menekankan pentingnya mendukung sineas lokal melalui program pendidikan, pelatihan, dan distribusi karya mereka ke pasar yang lebih luas. “Daripada fokus pada pembangunan bioskop, lebih baik pemerintah berinvestasi pada fasilitas produksi dan distribusi untuk mendukung perkembangan perfilman lokal di Aceh,” tambahnya.
Tren Perfilman Global
Perkembangan teknologi telah mengubah cara orang menikmati film. Bioskop, meskipun masih populer di berbagai kota besar, mulai bersaing dengan layanan streaming yang menawarkan kemudahan dan fleksibilitas. Di tengah perubahan ini, rencana membangun bioskop di Aceh terkesan kurang relevan jika dibandingkan dengan kebutuhan akan akses internet yang lebih baik atau dukungan bagi kreator lokal.
“Kita harus berpikir ke depan. Film tidak lagi hanya dinikmati di layar besar, tetapi juga di perangkat pribadi. Tren ini memungkinkan sineas lokal Aceh untuk menjangkau audiens global tanpa harus bergantung pada bioskop,” ungkap Davi.
Kesimpulan
Rencana pembangunan bioskop di Aceh yang diusulkan oleh Fadli Zon menimbulkan berbagai tanggapan dari masyarakat, khususnya para pelaku seni dan budaya. Sementara sebagian melihat hal ini sebagai peluang, banyak pula yang menganggapnya kurang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya setempat. Kritik dari sineas seperti Davi Abdullah menggarisbawahi perlunya pendekatan yang lebih sensitif dan relevan dalam memajukan industri kreatif di Aceh.
Sebagai alternatif, fokus pada pengembangan platform digital dan pemberdayaan sineas lokal dapat menjadi langkah yang lebih efektif. Dengan cara ini, perfilman Aceh tidak hanya akan berkembang sesuai dengan norma yang ada, tetapi juga mampu bersaing di kancah internasional.